cinta jingga warna warni majalah KawanKu

cinta jingga warna warni majalah KawanKu

Friday, 2 November 2018

LANGIT DAN SENJA


LANGIT DAN SENJA

Namaku Mentari. Dari dulu aku sangat menyukai langit. Tiap kali memandang keindahan warna biru dari si langit, aku merasa jatuh cinta, aku merasa bebas, dan aku merasa bahagia. Sama seperti perasaanku pada langit aku juga mencintai seseorang.
Namanya Venus. Venus merupakan murid baru di kelasku. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikannya. Aku memperlakukannya sama seperti aku memperlakukan teman- temanku yang lain, biasa saja tak ada yang istimewa. Aku juga tidak terlalu tertarik padanya. Sebulan berada di kelas yang sama, semua berjalan biasa saja, aku juga jarang berkomunikasi dengannya, tapi lama kelamaan aku merasa ada yang aneh dari Venus.
Aku mulai merasa ia sering mencuri pandang ke arahku hingga lama- kelamaan pandanganku dan pandangannya sering bertemu. Kadang ia langsung membuang muka saat ia tertangkap basah melirik aku, tapi sekarang ia mulai berani senyum padaku.
***
Suatu hari aku sedang duduk sendiri di taman di depan kelasku. Saat itu langit sangat cerah. Si jingga tersenyum hangat dari balik awan- awan putih yang bergelantungan bersama langit yang biru. Aku sangat menikmati keindahan itu. Aku memjamkan mataku, menarik nafas dalam- dalam, dan rasanya sangat damai.
“Cantik”.
Aku terkejut mendengar suara itu. Segera kubuka kedua mataku, aku sangat terkejut saat aku melihat Venus sudah duduk di sampingku. Ia memandang dengan pandangan khas yang selalu ia peragakan saat mencuri pandang padaku. Ia tersenyum. Aku baru sadar kalau ia punya lesung pipi. Aku baru sadar ia punya senyum yang manis.
“Cantik ya”, ia memperjelas kalimatnya.
“Iya. Kamu juga suka langit?”, aku bertanya pada Venus.
“Bukan langitnya yang cantik.”
“Jadi?” aku bingung.
“Kamu”.
Ia tersenyum tipis lalu bergegas pergi meninggalkanku sendiri. Dasar laki-laki aneh. Tapi tetap saja pipiku merona mendengar pernyataannya itu. Aku melirik jam tanganku, sudah menunjukkan pukul 07.30. Aku segera masuk ke dalam kelas, pelajaran akan dimulai.
***

            Besok kami akan mengikuti ulangan Fisika. Aku sangat suka pelajaran itu, jadi aku akan berusaha semaksimal mungkin agar aku bisa memperoleh nilai yang bagus dari mata pelajaran tersebut. Seperti saat ini, aku sangat sibuk mengerjakan soal- soal latihan di mejaku. Aku rela tidak pergi ke kantin demi berperang dengan semua rumus- rumus ini.
            “Mentari”, aku menoleh ke arah Venus ang sudah duduk di sampingku.
            “Hai Ven, ada apa?”
            “Kamu serius banget, sih. Lagi belajar buat besok ya?”
            “Iya nih, Ven.”
            “Rajin banget, jadi makin suka sama Mentari”.
            “Jadi apa?” tanyaku kembali.
            “JADI MAKIN SUKA SAMA MENTARI.” Venus tiba- tiba berteriak, hingga banyak teman- temanku menoleh kepada kami. Aku melongo mendengarnya. Ia mengedipkan sebelah matanya, tersenyum, lalu pergi. Aku masih terpaku, pipiku terasa panas dan aku yakin pasti warnanya sudah merona.
            Venus selalu punya cara untuk membuatku senyum- senyum sendiri. Setiap kali melihatnya aku jadi merasa ada getaran yang menjalar ke hatiku, dan getaran  itu akan semakin kencang ketika dia ada dekat denganku. Apa itu yang disebut orang- orang dengan jatuh cinta. Apa aku jatuh cita pada laki-laki aneh tapi manis itu.
***
Tanpa ada angin, tanpa ada hujan,  Venus yang ceria, yang sering menggodaku, yang sering membuat aku bahagia, dan orang yang sudah membuat aku jatuh hati tiba- tiba berubah. Ia berubah menjadi cuek dan dingin. Saat aku berusaha mencari perhatiannya, ia tidak bergeming sama sekali. Ada apa lagi dengan laki- laki aneh ini, pikirku.
Selama ini aku merasa ia suka padaku, tapi ternyata aku yang terlalu baper. Aku merasa seperti diberi harapan palsu. Mulai hari itu kami seolah-olah bermusuhan padahal tidak terjadi apa- apa di antara kami. Mungkin aku selama ini aku hanya seolah-olah tahu semua tentang dia, padahal ternyata kenal pun tidak. Aku merasa aneh dan lucu, tapi memang begitulah adanya. Aku tidak tahu apa-apa tentang dia, selain dia telah membuatku jatuh hati dan tiba- tiba menjauh.
Aku merasa kecewa dan aku ingin membencinya, tapi aku juga penasaran ada apa sebenarnya dengan Ven. Aku tidak melakukan kesalahan apapun, tapi ia seperti ingin menghindar dariku. Aku rasa ia menyembunyikan sesuatu di balik matanya, tapi apakah itu, aku tidak tahu.
***
            Hari ini les sore sangat melelahkan bagiku. Selesai membereskan semua bukuku aku keluar kelas. Aku berjalan pelan, tak sengaja aku melihat Venus duduk di bangku depan kelas, tempat dimana aku sering memandang langit yang biru. Tapi kali ini ia tampak asyik memperhatikan mentari yang akan tenggelam. Aku menghapirinya, ia menoleh sekilas ke arahku lalu kembali memandang ke langit.  Untuk beberapa menit kami saling diam di bawah senja.
            “Kamu suka langit?” itu kalimat pertama yang kudengar setelah lama ia menjauhiku di sekolah.
            “Langit biru tepatnya”, jawabku singkat.
            “ Aku juga. Warna biru dari langit membuat aku merasa nyaman dan tenang. Kamu suka senja?”, tanyanya lagi.
            “Sedikit”.  Sebenarnya aku tidak suka senja. Entah kenapa, tapi aku merasa sepi saat senja.
            “Aku juga tidak suka, tapi aku tidak benci. Kamu kenapa tidak suka senja? Bukankah banyak orang yang memandang senja itu indah?”
            “Memang indah, tapi senja membawa mentari pergi. Sehabis senja pasti hari akan gelap, dan aku merasa sunyi”, jababku pada Venus.
            “Mentari, aku juga merasa seperti itu. Aku melihat seorang gadis dalam senja dan ketika gelap datang ia pun pergi, dan aku merasa gelap dan sunyi”.
Aku tidak mengerti apa yang dimaksud  Venus, tapi yang pasti ia kelihatan sangat sedih. Aku masih diam menunggu ia melanjutkan ceritanya.
“Gadis yang aku lihat bernama Tania. Tania adalah gadis pertama yang aku aku sukai saat aku tahu apa itu jatuh cinta. Aku melihatnya pada matahari yang memancarkan semburat jingga saat akan pergi ke ufuk barat. Namun saat gelap malam menghampiri aku kembali sendiri, aku sadar Tania telah pergi, pergi untuk selamanya”. 
“Jadi Tania itu mantamu?”, aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Iya. Tapi ia sudah pergi. Tania sangat mirip denganmu. Saat melihatmu, aku merasa ia kembali lagi. Karena itu aku selalu berusaha mendekatimu. Lalu aku melihat kamu mulai mendekatiku, dan aku tersadar bahwa kamu Mentari bukan Tania. Aku takut membuatmu kecewa jadi aku menjauhimu, maafkan aku”.
Kini aku tahu mengapa Venus berubah. Aku jadi menyesal sudah beranggapan buruk padanya. Ia pasti sangat sedih.
“Kamu harus move on, Ven”. Aku menggenggam tanyannya, berusaha untuk menguatkannya.
“Sebenarnya aku sudah bisa  merelakan dia pergi. Saat aku menjauhimu, aku merasa rindu, mungkin aku sudah benar- benar suka padamu, tapi aku merasa bersalah pada Tania”.
“Tidak perlu merasa bersalah, ia malah akan sedih jika kamu berlarut dalam sedih, belajarlah untuk membuka hati”, aku tersenyum padanya.
“Tapi aku juga trauma, aku takut kalau kamu juga akan pergi kalau tahu bagaimana aku sebenarnya”.
“Memangnya ada apa denganmu?”
“Sebelum Tania meninggal aku sangat keras kepala. Aku suka sekali membawa motor dengan kecepatan yang tinggi. Aku berusaha menunjukkan kalau aku hebat. Ia selalu menasehatiku, tapi aku terlalu sombong. Hingga pada suatu hari aku membonceng dia dengan kencang dan kami kecelakaan, hingga ia tak tertolong lagi.”
“Ven, tidah ada manusia yang sempurna. Jadi semua berhak mendapat kesempatan kedua, begitupun kamu. Kamu harus memulai lembaran baru”, aku tersenyum padanya.
“Jadi maukah kamu menggantikan Tania?”, tanyanya.
“Aku tidak berhak menggantikan dia. Tapi kalau kamu memang benar- benar suka padaku, sukailah aku karena aku adalah Mentari. Jangan lihat aku sebagai orang lain, walau sekalipun aku mirip dengannnya. Kalau kamu melihat orang lain pada diriku, kamu akan kecewa”.
Ia menatapku lembut dan mengangguk mantap. Aku melihat kesedihan di matanya sudah hilang. Ia menggenggam langanku lebih erat. Untuk pertama kalinya dua orang yang menyukai langit biru tersenyum bahagia di bawah sang senja.


1 comment: