LANGIT
DAN SENJA
Namaku Mentari. Dari
dulu aku sangat menyukai langit. Tiap kali memandang keindahan warna biru dari
si langit, aku merasa jatuh cinta, aku merasa bebas, dan aku merasa bahagia.
Sama seperti perasaanku pada langit aku juga mencintai seseorang.
Namanya Venus. Venus
merupakan murid baru di kelasku. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikannya.
Aku memperlakukannya sama seperti aku memperlakukan teman- temanku yang lain,
biasa saja tak ada yang istimewa. Aku juga tidak terlalu tertarik padanya.
Sebulan berada di kelas yang sama, semua berjalan biasa saja, aku juga jarang
berkomunikasi dengannya, tapi lama kelamaan aku merasa ada yang aneh dari
Venus.
Aku mulai merasa ia
sering mencuri pandang ke arahku hingga lama- kelamaan pandanganku dan
pandangannya sering bertemu. Kadang ia langsung membuang muka saat ia
tertangkap basah melirik aku, tapi sekarang ia mulai berani senyum padaku.
***
Suatu hari aku sedang
duduk sendiri di taman di depan kelasku. Saat itu langit sangat cerah. Si
jingga tersenyum hangat dari balik awan- awan putih yang bergelantungan bersama
langit yang biru. Aku sangat menikmati keindahan itu. Aku memjamkan mataku,
menarik nafas dalam- dalam, dan rasanya sangat damai.
“Cantik”.
Aku terkejut mendengar
suara itu. Segera kubuka kedua mataku, aku sangat terkejut saat aku melihat
Venus sudah duduk di sampingku. Ia memandang dengan pandangan khas yang selalu
ia peragakan saat mencuri pandang padaku. Ia tersenyum. Aku baru sadar kalau ia
punya lesung pipi. Aku baru sadar ia punya senyum yang manis.
“Cantik ya”, ia
memperjelas kalimatnya.
“Iya. Kamu juga suka
langit?”, aku bertanya pada Venus.
“Bukan langitnya yang
cantik.”
“Jadi?” aku bingung.
“Kamu”.
Ia tersenyum tipis lalu
bergegas pergi meninggalkanku sendiri. Dasar laki-laki aneh. Tapi tetap saja
pipiku merona mendengar pernyataannya itu. Aku melirik jam tanganku, sudah
menunjukkan pukul 07.30. Aku segera masuk ke dalam kelas, pelajaran akan
dimulai.
***
Besok
kami akan mengikuti ulangan Fisika. Aku sangat suka pelajaran itu, jadi aku
akan berusaha semaksimal mungkin agar aku bisa memperoleh nilai yang bagus dari
mata pelajaran tersebut. Seperti saat ini, aku sangat sibuk mengerjakan soal-
soal latihan di mejaku. Aku rela tidak pergi ke kantin demi berperang dengan semua
rumus- rumus ini.
“Mentari”,
aku menoleh ke arah Venus ang sudah duduk di sampingku.
“Hai
Ven, ada apa?”
“Kamu
serius banget, sih. Lagi belajar buat
besok ya?”
“Iya
nih, Ven.”
“Rajin
banget, jadi makin suka sama Mentari”.
“Jadi
apa?” tanyaku kembali.
“JADI
MAKIN SUKA SAMA MENTARI.” Venus tiba- tiba berteriak, hingga banyak teman-
temanku menoleh kepada kami. Aku melongo mendengarnya. Ia mengedipkan sebelah
matanya, tersenyum, lalu pergi. Aku masih terpaku, pipiku terasa panas dan aku
yakin pasti warnanya sudah merona.
Venus
selalu punya cara untuk membuatku senyum- senyum sendiri. Setiap kali
melihatnya aku jadi merasa ada getaran yang menjalar ke hatiku, dan getaran itu akan semakin kencang ketika dia ada dekat
denganku. Apa itu yang disebut orang- orang dengan jatuh cinta. Apa aku jatuh
cita pada laki-laki aneh tapi manis itu.
***
Tanpa ada angin, tanpa
ada hujan, Venus yang ceria, yang sering
menggodaku, yang sering membuat aku bahagia, dan orang yang sudah membuat aku
jatuh hati tiba- tiba berubah. Ia berubah menjadi cuek dan dingin. Saat aku
berusaha mencari perhatiannya, ia tidak bergeming sama sekali. Ada apa lagi dengan laki- laki aneh ini,
pikirku.
Selama ini aku merasa
ia suka padaku, tapi ternyata aku yang terlalu baper. Aku merasa seperti diberi harapan palsu. Mulai hari itu kami
seolah-olah bermusuhan padahal tidak terjadi apa- apa di antara kami. Mungkin
aku selama ini aku hanya seolah-olah tahu semua tentang dia, padahal ternyata
kenal pun tidak. Aku merasa aneh dan lucu, tapi memang begitulah adanya. Aku
tidak tahu apa-apa tentang dia, selain dia telah membuatku jatuh hati dan tiba-
tiba menjauh.
Aku merasa kecewa dan
aku ingin membencinya, tapi aku juga penasaran ada apa sebenarnya dengan Ven.
Aku tidak melakukan kesalahan apapun, tapi ia seperti ingin menghindar dariku.
Aku rasa ia menyembunyikan sesuatu di balik matanya, tapi apakah itu, aku tidak
tahu.
***
Hari
ini les sore sangat melelahkan bagiku. Selesai membereskan semua bukuku aku
keluar kelas. Aku berjalan pelan, tak sengaja aku melihat Venus duduk di bangku
depan kelas, tempat dimana aku sering memandang langit yang biru. Tapi kali ini
ia tampak asyik memperhatikan mentari yang akan tenggelam. Aku menghapirinya,
ia menoleh sekilas ke arahku lalu kembali memandang ke langit. Untuk beberapa menit kami saling diam di
bawah senja.
“Kamu
suka langit?” itu kalimat pertama yang kudengar setelah lama ia menjauhiku di
sekolah.
“Langit
biru tepatnya”, jawabku singkat.
“
Aku juga. Warna biru dari langit membuat aku merasa nyaman dan tenang. Kamu
suka senja?”, tanyanya lagi.
“Sedikit”. Sebenarnya aku tidak suka senja. Entah
kenapa, tapi aku merasa sepi saat senja.
“Aku
juga tidak suka, tapi aku tidak benci. Kamu kenapa tidak suka senja? Bukankah
banyak orang yang memandang senja itu indah?”
“Memang
indah, tapi senja membawa mentari pergi. Sehabis senja pasti hari akan gelap,
dan aku merasa sunyi”, jababku pada Venus.
“Mentari,
aku juga merasa seperti itu. Aku melihat seorang gadis dalam senja dan ketika
gelap datang ia pun pergi, dan aku merasa gelap dan sunyi”.
Aku tidak mengerti apa
yang dimaksud Venus, tapi yang pasti ia
kelihatan sangat sedih. Aku masih diam menunggu ia melanjutkan ceritanya.
“Gadis yang aku lihat
bernama Tania. Tania adalah gadis pertama yang aku aku sukai saat aku tahu apa
itu jatuh cinta. Aku melihatnya pada matahari yang memancarkan semburat jingga
saat akan pergi ke ufuk barat. Namun saat gelap malam menghampiri aku kembali
sendiri, aku sadar Tania telah pergi, pergi untuk selamanya”.
“Jadi Tania itu
mantamu?”, aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Iya. Tapi ia sudah
pergi. Tania sangat mirip denganmu. Saat melihatmu, aku merasa ia kembali lagi.
Karena itu aku selalu berusaha mendekatimu. Lalu aku melihat kamu mulai
mendekatiku, dan aku tersadar bahwa kamu Mentari bukan Tania. Aku takut
membuatmu kecewa jadi aku menjauhimu, maafkan aku”.
Kini aku tahu mengapa
Venus berubah. Aku jadi menyesal sudah beranggapan buruk padanya. Ia pasti
sangat sedih.
“Kamu harus move on, Ven”. Aku menggenggam
tanyannya, berusaha untuk menguatkannya.
“Sebenarnya aku sudah bisa
merelakan dia pergi. Saat aku
menjauhimu, aku merasa rindu, mungkin aku sudah benar- benar suka padamu, tapi
aku merasa bersalah pada Tania”.
“Tidak perlu merasa
bersalah, ia malah akan sedih jika kamu berlarut dalam sedih, belajarlah untuk
membuka hati”, aku tersenyum padanya.
“Tapi aku juga trauma,
aku takut kalau kamu juga akan pergi kalau tahu bagaimana aku sebenarnya”.
“Memangnya ada apa
denganmu?”
“Sebelum Tania
meninggal aku sangat keras kepala. Aku suka sekali membawa motor dengan
kecepatan yang tinggi. Aku berusaha menunjukkan kalau aku hebat. Ia selalu
menasehatiku, tapi aku terlalu sombong. Hingga pada suatu hari aku membonceng
dia dengan kencang dan kami kecelakaan, hingga ia tak tertolong lagi.”
“Ven, tidah ada manusia
yang sempurna. Jadi semua berhak mendapat kesempatan kedua, begitupun kamu.
Kamu harus memulai lembaran baru”, aku tersenyum padanya.
“Jadi maukah kamu
menggantikan Tania?”, tanyanya.
“Aku tidak berhak
menggantikan dia. Tapi kalau kamu memang benar- benar suka padaku, sukailah aku
karena aku adalah Mentari. Jangan lihat aku sebagai orang lain, walau sekalipun
aku mirip dengannnya. Kalau kamu melihat orang lain pada diriku, kamu akan
kecewa”.
Ia menatapku lembut dan
mengangguk mantap. Aku melihat kesedihan di matanya sudah hilang. Ia
menggenggam langanku lebih erat. Untuk pertama kalinya dua orang yang menyukai
langit biru tersenyum bahagia di bawah sang senja.
Temanya bagus sih...
ReplyDeleteCerpen selanjutnya di tunggu ya..