AKU
DAN HUJAN
Siang
ini hujan lagi, malah lebih deras dari biasanya. Maklum juga sih, ini kan sudah
memasuki bulan November. Guru SDku bilang setiap bulan yang ada akhiran –ber
pasti musim hujan. Aku seorang yang sangat suka bermain hujan, walaupun Mama selalu
marah melihat aku basah kuyup setelah bermain- main di bawah derasnya hujan. ‘ Kalau main hujan, nanti kamu demam, kamu
juga udah besar, udah mahasiswa, apa enggak malu’ begitu lah Mama akan
mengomeliku, kadang Papa juga ikut-ikutan, bahkan Kak Tommy juga tak mau ketinggalan
mengejekku.
Tapi hari ini aku tidak peduli. Aku ingin
bebas, menari di tengah genangan air, berteriak sebisaku bersama derasnya air
hujan yang turun ke bumi. Bagiku hujan memang tak bisa berbicara, tapi hujan bisa
bercerita banyak hal. Ada banyak kenangan yang turun bersama tetes hujan. Aku
menikmati tiap tetes yang menyentuh kulitku, kupejamkan kedua mataku, mencoba
mengingat banyak kenangan yang turun bersama hujan. Boleh aku bercerita kisahku
pada bulan November tahun lalu?
****
“Nehal!”
Aku
menoleh kearah sumber suara yang memanggilku. Ternyata itu Rayn, teman
sekelasku.
“Ney,
titip tugas, dong. Sekalian aku juga titip absen. Aku lagi buru buru, nih.”
“Buru-
buru kemana sih Rayn?” tanyaku
bingung.
“Mau
ke acara wisuda teman, emang kamu gak lihat, aku udah ganteng gini, masih
ditanya mau kemana”.
Emang tiap hari kamu
juga ganteng, Rayn, pikirku dalam hati.
“Ya
udah, sini tugasnya, nanti aku absenin kamu”.
“Makasih
Nehal cantik”, jawab Rayn.
Aku
bisa melihat ekspresi Rayn sangat bangga ketika aku tidak bisa menolak
permintaannnya. Ia membalikkan badannya, buru- buru pergi. Baru beberapa langkah
ia berjalan, ia balik badan lagi, lalu kembali menghampiriku. Tiba- tiba ia
mengacak- acak rambutku lalu tersenyum.
“Sekali
lagi makasih ya, Ney”.
Aku
masih terpaku di tempatku berdiri tadi. Begitulah Rayn, cowok yang kadang
bertindak aneh tapi bisa membuat
jantungku berdebar tak karuan, cowok yang suka jahil padaku, tapi kejahilannya
sukses membuatku senyum- senyum sendiri.
***
.
Kuliah sudah berjalan selama satu jam,
tapi tidak ada yang kumengerti dari pelajaran ini. Aku bahkan tidak sadar kalau
dari tadi Pak Dosen memperhatikan aku
melamun. Aku baru tersadar ketika beliau menyuruhku menjawab pertanyaan yang
aku tidak tahu apa jawabannya. Aku masih saja mengingat kejadian tadi pagi. Aku
jadi rindu pada Rayn. Kelas tanpa Rayn ibarat bakwan tanpa micin, berasa tapi
tidak pas rasanya.
“Ney,
kamu sakit?” tanya sahabatku Ollin.
“Enggak
kok, emang kenapa?”, tanyaku kembali.
“Dari
pagi kamu itu melamun terus, ditanya soal yang gampang sama Pak Dosen aja gak
bisa jawab”.
Begitulah
Ollin, orang yang paling perhatian padaku. Bagiku ia tidak hanya sekedar
sahabat, ia sudah seperti saudara bagiku. Kami selalu berbagi cerita dan menyelesaikan
masalah bersama. Aku sangat menyayangi Ollin, begitu juga sebaliknya.
“Ney,
aku mau cerita sama kamu”.
“Cerita
apa?”, tanyaku penasaran.
“Aku
udah putus sama Bima, terus sekarang aku lagi PDKT sama anak jurusan
Arsitektur, orangnya keren, Ney”.
“Bagus
dong, selamat ya Lin”. Bukan Ollin namanya kalau dalam sebulan gak bisa tiga
kali ganti pacar.
“Terus
kamu kapan punya pacar Neyhal? Muka cantik, otak lumayanlah, pergaulan lumayan
luas, yang ngajak jadian banyak tapi status jomlo. Gimana sih?”
“Ollin,
aku itu kan…”
“Kamu
itu apa, kamu masih nungguin Rayn peka, kamu masih nuggu pangeran hujan kamu
itu tahu kalau kamu suka sama dia, kalau kamu udah naksir dia dari zaman Maba
dulu”.
“Itu
kamu tahu, jadi aku harus apa, kan gak mungkin kalau aku cerita ke dia kalau
aku suka sama dia. Nanti dia bisa jauhin aku”, jawabku pada Ollin.
“Kalau
dia gak peka, ya udah kamu coba aja terima cowok yang ngajak kamu jadian,
daripada jomlo”, Ollin tersenyum jahil.
“Cinta
itu gak bisa dicoba-coba Lin, nanti jadi nyesal sendiri”.
***
Hari
ini aku pulang kuliah sendiri. Berhubung hari ini aku tidak bawa motor dan
rumahku tidak terlalu jauh dari kampus, aku pulang jalan kaki. Aku menengadah
menatap langit. Mendung. Angin dingin memberitahuku sebentar lagi akan turun hujan,
aku tersenyum membayangkan serunya bermain hujan. Aku merasakan tetes- tetes
hujan mulai menyentuh kulitku, rasanya dingin dan menenangkan. Semakin lama,
semakin deras dan aku semakin suka. Di halte dekat perempatan gang menuju rumahku,
samar- samar aku melihat bayangan Rayn. Aku segera menghampirinya. Dan benar,
itu Rayn.
“Rayn”,
aku duduk di sebelahnya.
Orang
yang kupanggil menoleh ke arahku. Rambutnya acak- acakan, basah tekena hujan,
tapi ia tetap kelihatan manis. Jantungku selalu berdetak lebih cepat bila dekat
dengan makhluk tampan yang satu ini. Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta
padanya. Punya tampang keren, penampilan menarik, selalu wangi, dan bila sudah
ada di lapangan basket, aura ketampanannya semakin terpancar, sudah pasti aku
akan semakin meleleh.
“Kok
belum pulang?”, tanyaku lagi.
“Nunggu
hujan reda, susah bawa motor kalau lagi hujan”.
“Ohh…
iya juga sih.”
“Ney,
kamu udah punya pacar?”.
Rayn
menatapku dalam, aku balik menatapnya. Untuk pertama kalinya kami saling
memandang seperti ini, aku semakin gugup. Oh
my God, Rayn kenapa sih, kok agak jadi lebih aneh dari biasanya.
“Ney,
kok jadi diam sih?”
“Eh..
kamu nanya apa tadi?”, tanyaku gugup.
“Kamu
udah punya pacar?”, ia tersenyum.
“Kenapa
kamu nanya gitu, Rayn”, aku menunduk menutupi rona merah di pipiku dengan
rambutku yang tergerai.
“Aku
pengen tau, manatahu udah ada yang mendahului aku”, ia tersenyum.
“Emang
kalau belum kenapa?”, aku menantang Rayn.
“Ney,
kamu sadar gak kalau aku selalu berusaha dekatin kamu?”
Aku
mengingat- ingat kembali kenangan antara aku dan dia. Kuakui Rayn memang selalu
baik padaku. Bisa dibilang aku salah satu cewek yang akrab dengannya. Tapi yang
kutahu selama ini akulah yang diam- diam menyukainya dan aku mengira dia baik
padaku karena aku temannya dan tidak lebih.
“Aku
enggak ngerti maksud kamu, Rayn”.
“Ney,
sebenarnya dari zaman maba dulu aku udah suka sama kamu, tapi aku gak berani
bilang, karena aku takut kamu menjauh, kalau aku menunjukkan perasaanku. Jadi
aku menunggu waktu yang tepat dan ini adalah waktu yang tepat, aku nggak mau
terlambat”.
Aku
masih terpaku mendengar penjelasan Rayn. Di bawah hujan sore ini, orang yang
selama ini diam- diam aku sukai menyatakan perasaannya padaku. Seharusnya aku
senang, tapi aku malah terkejut. Aku masih berusaha meyakinkan diriku kalau aku
tidak sedang bermimpi.
Rayn
meraih kedua tanganku. Ia menggenggannya erat. Ia menatapku lagi, lebih dalam
dari tatapannya tadi. Aku menengadahkan kepalaku menatapnya. Kami sama- sama
diam. Hanya terdengar suara tetesan hujan yang semakin deras. Tiba- tiba Rayn
menundukkan kepalanya dan berbisik pelan tepat di telingaku.
“Ney,
kamu mau jadian sama aku?”
“Rayn,
aku…”
“Ney,
kalau kamu belum siap jawab sekarang, aku tunggu nanti malam di halte ini”. Rayn melepaskan tanganku, meraih helmnya lalu
tiba- tiba pergi dengan motornya menembus hujan yang masih deras.
Aku
menepuk- nepuk pipiku. Sakit. Berarti aku tidak sedang bermimpi, kalau Rayn
orang yang kusuka selama ini juga punya perasaan yang sama padaku.
***
Aku
mondar- mandir di dalam kamarku. Aku melihat bayangan diriku di depan cermin.
Sudah cantik, aku tersenyum, aku sudah siap bertemu Rayn dan bilang padanya ‘Iya Rayn, aku juga suka sama kamu, I love
you too’. Aku mengecek Hpku, ada Whatsapp
dari Rayn. Dia sudah ada di halte. Aku buru- buru pergi.
Di
perempatan jalan sewaktu aku ingin menyeberang, aku tidak sadar kalau ada mobil
yang melaju kencang sudah dekat denganku.
BRUG!!!
Aku
membuka mataku, aku merasakan ada darah yang mengalir di pelipisku. Dress pink
muda yang kupakai juga agak jorok dan ada juga bercak darah. Aku segera bangkit
berdiri. Sekelilingku sangat sepi, entah apa yang telah terjadi padaku. Aku
yakin mobil tadi pasti sudah menabrakku. Dasar pengemudi yang tidak bertanggung
jawab. Bisa- bisanya meninggalkanku pingsan begitu.
Aku
berjalan tertatih menuju halte, tidak ada orang sama sekali. Apakah Rayn sudah
pergi? Apa aku pingsan sangat lama?
Hatiku
sangat hancur, aku sangat kecewa. Karena insiden tadi aku tidak jadi bertemu Rayn.
Aku juga takut Rayn marah padaku. Pasti dia sangat kecewa karena mengira aku
tidak datang. Aku merasakan panas di pipiku. Aku menangis.
Bersama
tangisku, tetes- tetes hujan juga ikut turun, bahkan sangat deras. Aku
berteriak sekeras mungkin. Hujan malam ini mewakili perasaanku saat ini.
Tetesannya jatuh bersama air mataku, bersama perasaanku yang sangat kecewa.
Aku
pulang ke rumah. Dari kejauhan aku melihat ada sepeda motor Rayn di teras
parkir rumahku. Ada mobil Ollin juga. Aku mempercepat langkahku. Di gerbang,
aku berpapasan dengan Rayn. Ia berjalan menuju sepeda motornya begitu saja
tanpa menghiraukanku. Ada raut kecewa di wajahnya.
“Rayn”,
aku memanggilnya.
Ia
mengentikan langkahnya, lalu menoleh ke arahku, lalu tiba- tiba ia menaiki
motornya, lalu pergi begitu saja. Air mataku menetes lagi. Rayn pasti marah.
Dengan
gontai aku memasuki rumah. Di ruang tamu ada Papa, Mama, Kak Tommy, dan Ollin,
dan ada teman- temanku juga. Tak biasanya mereka bertamu malam- malam begini.
Mereka tampak mengerumuni sesuatu. Aku penasaran apa yang membuat mereka tidak
sadar kalau aku sudah pulang. Aku mendekati mereka. Aku sangat terkejut.
Di tengah- tengah mereka, aku mendapati
seorang gadis terbaring kaku. Wajahnya sangat mirip denganku. Apakah itu aku?
“Nehal,
Ney bangun dong, kenapa kamu tiba- tiba pergi Ney”.
Ollin
memeluk gadis itu dan menangis sejadi- jadinya.
***
Itulah
ceritaku pada musim hujan November setahun lalu. Ketika itu, aku menyembunyikan
tangisku bersama tetesan air hujan. Dan bersama hujan hujan kali ini aku ingin
menitipkan sebuah perasaan. Aku ingin, hujan sampaikan pada Rayn kalau aku
rindu padanya. Aku juga ingin beribu- ribu rintik hujan, sampaikan pada Rayn
kalau aku juga suka padanya, perasaan yang belum sempat aku sampaikan.