cinta jingga warna warni majalah KawanKu

cinta jingga warna warni majalah KawanKu

Sunday, 18 November 2018

AKU DAN HUJAN


AKU DAN HUJAN

Siang ini hujan lagi, malah lebih deras dari biasanya. Maklum juga sih, ini kan sudah memasuki bulan November. Guru SDku bilang setiap bulan yang ada akhiran –ber pasti musim hujan. Aku seorang yang sangat suka bermain hujan, walaupun Mama selalu marah melihat aku basah kuyup setelah bermain- main di bawah derasnya hujan. ‘ Kalau main hujan, nanti kamu demam, kamu juga udah besar, udah mahasiswa, apa enggak malu’ begitu lah Mama akan mengomeliku, kadang Papa juga ikut-ikutan, bahkan  Kak Tommy juga tak mau ketinggalan mengejekku.
 Tapi hari ini aku tidak peduli. Aku ingin bebas, menari di tengah genangan air, berteriak sebisaku bersama derasnya air hujan yang turun ke bumi. Bagiku hujan memang tak bisa berbicara, tapi hujan bisa bercerita banyak hal. Ada banyak kenangan yang turun bersama tetes hujan. Aku menikmati tiap tetes yang menyentuh kulitku, kupejamkan kedua mataku, mencoba mengingat banyak kenangan yang turun bersama hujan. Boleh aku bercerita kisahku pada bulan November tahun lalu?
****
“Nehal!”
Aku menoleh kearah sumber suara yang memanggilku. Ternyata itu Rayn, teman sekelasku.
“Ney, titip tugas, dong. Sekalian aku juga titip absen. Aku lagi buru buru, nih.
“Buru- buru kemana sih Rayn?” tanyaku bingung.
“Mau ke acara wisuda teman, emang kamu gak lihat, aku udah ganteng gini, masih ditanya mau kemana”.
Emang tiap hari kamu juga ganteng, Rayn, pikirku dalam hati.
“Ya udah, sini tugasnya, nanti aku absenin kamu”.
“Makasih Nehal cantik”, jawab Rayn.
Aku bisa melihat ekspresi Rayn sangat bangga ketika aku tidak bisa menolak permintaannnya. Ia membalikkan badannya, buru- buru pergi. Baru beberapa langkah ia berjalan, ia balik badan lagi, lalu kembali menghampiriku. Tiba- tiba ia mengacak- acak rambutku lalu tersenyum.
“Sekali lagi makasih ya, Ney”.
Aku masih terpaku di tempatku berdiri tadi. Begitulah Rayn, cowok yang kadang bertindak aneh  tapi bisa membuat jantungku berdebar tak karuan, cowok yang suka jahil padaku, tapi kejahilannya sukses membuatku senyum- senyum sendiri.
***
.  Kuliah sudah berjalan selama satu jam, tapi tidak ada yang kumengerti dari pelajaran ini. Aku bahkan tidak sadar kalau dari tadi Pak  Dosen memperhatikan aku melamun. Aku baru tersadar ketika beliau menyuruhku menjawab pertanyaan yang aku tidak tahu apa jawabannya. Aku masih saja mengingat kejadian tadi pagi. Aku jadi rindu pada Rayn. Kelas tanpa Rayn ibarat bakwan tanpa micin, berasa tapi tidak pas rasanya.
“Ney, kamu sakit?”  tanya sahabatku Ollin.
“Enggak kok, emang kenapa?”, tanyaku kembali.
“Dari pagi kamu itu melamun terus, ditanya soal yang gampang sama Pak Dosen aja gak bisa jawab”.
Begitulah Ollin, orang yang paling perhatian padaku. Bagiku ia tidak hanya sekedar sahabat, ia sudah seperti saudara bagiku. Kami selalu berbagi cerita dan menyelesaikan masalah bersama. Aku sangat menyayangi Ollin, begitu juga sebaliknya.
“Ney, aku mau cerita sama kamu”.
“Cerita apa?”, tanyaku penasaran.
“Aku udah putus sama Bima, terus sekarang aku lagi PDKT sama anak jurusan Arsitektur, orangnya keren, Ney”.
“Bagus dong, selamat ya Lin”. Bukan Ollin namanya kalau dalam sebulan gak bisa tiga kali ganti pacar.
“Terus kamu kapan punya pacar Neyhal? Muka cantik, otak lumayanlah, pergaulan lumayan luas, yang ngajak jadian banyak tapi status jomlo. Gimana sih?”
“Ollin, aku itu kan…”
“Kamu itu apa, kamu masih nungguin Rayn peka, kamu masih nuggu pangeran hujan kamu itu tahu kalau kamu suka sama dia, kalau kamu udah naksir dia dari zaman Maba dulu”.
“Itu kamu tahu, jadi aku harus apa, kan gak mungkin kalau aku cerita ke dia kalau aku suka sama dia. Nanti dia bisa jauhin aku”, jawabku pada Ollin.
“Kalau dia gak peka, ya udah kamu coba aja terima cowok yang ngajak kamu jadian, daripada jomlo”, Ollin tersenyum jahil.
“Cinta itu gak bisa dicoba-coba Lin, nanti jadi nyesal sendiri”.
***
Hari ini aku pulang kuliah sendiri. Berhubung hari ini aku tidak bawa motor dan rumahku tidak terlalu jauh dari kampus, aku pulang jalan kaki. Aku menengadah menatap langit. Mendung. Angin dingin memberitahuku sebentar lagi akan turun hujan, aku tersenyum membayangkan serunya bermain hujan. Aku merasakan tetes- tetes hujan mulai menyentuh kulitku, rasanya dingin dan menenangkan. Semakin lama, semakin deras dan aku semakin suka. Di halte dekat perempatan gang menuju rumahku, samar- samar aku melihat bayangan Rayn. Aku segera menghampirinya. Dan benar, itu Rayn.
“Rayn”, aku duduk di sebelahnya.
Orang yang kupanggil menoleh ke arahku. Rambutnya acak- acakan, basah tekena hujan, tapi ia tetap kelihatan manis. Jantungku selalu berdetak lebih cepat bila dekat dengan makhluk tampan yang satu ini. Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta padanya. Punya tampang keren, penampilan menarik, selalu wangi, dan bila sudah ada di lapangan basket, aura ketampanannya semakin terpancar, sudah pasti aku akan semakin meleleh.
“Kok belum pulang?”, tanyaku lagi.
“Nunggu hujan reda, susah bawa motor kalau lagi hujan”.
“Ohh… iya juga sih.”
“Ney, kamu udah punya pacar?”.
Rayn menatapku dalam, aku balik menatapnya. Untuk pertama kalinya kami saling memandang seperti ini, aku semakin gugup. Oh my God, Rayn kenapa sih, kok agak jadi lebih aneh dari biasanya.
“Ney, kok jadi diam sih?”
“Eh.. kamu nanya apa tadi?”, tanyaku gugup.
“Kamu udah punya pacar?”, ia tersenyum.
“Kenapa kamu nanya gitu, Rayn”, aku menunduk menutupi rona merah di pipiku dengan rambutku yang tergerai.
“Aku pengen tau, manatahu udah ada yang mendahului aku”, ia tersenyum.
“Emang kalau belum kenapa?”, aku menantang Rayn.
“Ney, kamu sadar gak kalau aku selalu berusaha dekatin kamu?”
Aku mengingat- ingat kembali kenangan antara aku dan dia. Kuakui Rayn memang selalu baik padaku. Bisa dibilang aku salah satu cewek yang akrab dengannya. Tapi yang kutahu selama ini akulah yang diam- diam menyukainya dan aku mengira dia baik padaku karena aku temannya dan tidak lebih.
“Aku enggak ngerti maksud kamu, Rayn”.
“Ney, sebenarnya dari zaman maba dulu aku udah suka sama kamu, tapi aku gak berani bilang, karena aku takut kamu menjauh, kalau aku menunjukkan perasaanku. Jadi aku menunggu waktu yang tepat dan ini adalah waktu yang tepat, aku nggak mau terlambat”.
Aku masih terpaku mendengar penjelasan Rayn. Di bawah hujan sore ini, orang yang selama ini diam- diam aku sukai menyatakan perasaannya padaku. Seharusnya aku senang, tapi aku malah terkejut. Aku masih berusaha meyakinkan diriku kalau aku tidak sedang bermimpi.
Rayn meraih kedua tanganku. Ia menggenggannya erat. Ia menatapku lagi, lebih dalam dari tatapannya tadi. Aku menengadahkan kepalaku menatapnya. Kami sama- sama diam. Hanya terdengar suara tetesan hujan yang semakin deras. Tiba- tiba Rayn menundukkan kepalanya dan berbisik pelan tepat di telingaku.
“Ney, kamu mau jadian sama aku?”
“Rayn, aku…”
“Ney, kalau kamu belum siap jawab sekarang, aku tunggu nanti malam di halte ini”.  Rayn melepaskan tanganku, meraih helmnya lalu tiba- tiba pergi dengan motornya menembus hujan yang masih deras.
Aku menepuk- nepuk pipiku. Sakit. Berarti aku tidak sedang bermimpi, kalau Rayn orang yang kusuka selama ini juga punya perasaan yang sama padaku.
***
Aku mondar- mandir di dalam kamarku. Aku melihat bayangan diriku di depan cermin. Sudah cantik, aku tersenyum, aku sudah siap bertemu Rayn dan bilang padanya ‘Iya Rayn, aku juga suka sama kamu, I love you too’. Aku mengecek Hpku, ada Whatsapp dari Rayn. Dia sudah ada di halte. Aku buru- buru pergi.
Di perempatan jalan sewaktu aku ingin menyeberang, aku tidak sadar kalau ada mobil yang melaju kencang sudah dekat denganku.
BRUG!!!
Aku membuka mataku, aku merasakan ada darah yang mengalir di pelipisku. Dress pink muda yang kupakai juga agak jorok dan ada juga bercak darah. Aku segera bangkit berdiri. Sekelilingku sangat sepi, entah apa yang telah terjadi padaku. Aku yakin mobil tadi pasti sudah menabrakku. Dasar pengemudi yang tidak bertanggung jawab. Bisa- bisanya meninggalkanku pingsan begitu.
Aku berjalan tertatih menuju halte, tidak ada orang sama sekali. Apakah Rayn sudah pergi? Apa aku pingsan sangat lama?
Hatiku sangat hancur, aku sangat kecewa. Karena insiden tadi aku tidak jadi bertemu Rayn. Aku juga takut Rayn marah padaku. Pasti dia sangat kecewa karena mengira aku tidak datang. Aku merasakan panas di pipiku. Aku menangis.
Bersama tangisku, tetes- tetes hujan juga ikut turun, bahkan sangat deras. Aku berteriak sekeras mungkin. Hujan malam ini mewakili perasaanku saat ini. Tetesannya jatuh bersama air mataku, bersama perasaanku yang sangat kecewa.
Aku pulang ke rumah. Dari kejauhan aku melihat ada sepeda motor Rayn di teras parkir rumahku. Ada mobil Ollin juga. Aku mempercepat langkahku. Di gerbang, aku berpapasan dengan Rayn. Ia berjalan menuju sepeda motornya begitu saja tanpa menghiraukanku. Ada raut kecewa di wajahnya.
“Rayn”, aku memanggilnya.
Ia mengentikan langkahnya, lalu menoleh ke arahku, lalu tiba- tiba ia menaiki motornya, lalu pergi begitu saja. Air mataku menetes lagi. Rayn pasti marah.
Dengan gontai aku memasuki rumah. Di ruang tamu ada Papa, Mama, Kak Tommy, dan Ollin, dan ada teman- temanku juga. Tak biasanya mereka bertamu malam- malam begini. Mereka tampak mengerumuni sesuatu. Aku penasaran apa yang membuat mereka tidak sadar kalau aku sudah pulang. Aku mendekati mereka. Aku sangat terkejut. Di  tengah- tengah mereka, aku mendapati seorang gadis terbaring kaku. Wajahnya sangat mirip denganku. Apakah itu aku?
“Nehal, Ney bangun dong, kenapa kamu tiba- tiba pergi Ney”.
Ollin memeluk gadis itu dan menangis sejadi- jadinya.
***
Itulah ceritaku pada musim hujan November setahun lalu. Ketika itu, aku menyembunyikan tangisku bersama tetesan air hujan. Dan bersama hujan hujan kali ini aku ingin menitipkan sebuah perasaan. Aku ingin, hujan sampaikan pada Rayn kalau aku rindu padanya. Aku juga ingin beribu- ribu rintik hujan, sampaikan pada Rayn kalau aku juga suka padanya, perasaan yang belum sempat aku sampaikan.





Friday, 2 November 2018

LANGIT DAN SENJA


LANGIT DAN SENJA

Namaku Mentari. Dari dulu aku sangat menyukai langit. Tiap kali memandang keindahan warna biru dari si langit, aku merasa jatuh cinta, aku merasa bebas, dan aku merasa bahagia. Sama seperti perasaanku pada langit aku juga mencintai seseorang.
Namanya Venus. Venus merupakan murid baru di kelasku. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikannya. Aku memperlakukannya sama seperti aku memperlakukan teman- temanku yang lain, biasa saja tak ada yang istimewa. Aku juga tidak terlalu tertarik padanya. Sebulan berada di kelas yang sama, semua berjalan biasa saja, aku juga jarang berkomunikasi dengannya, tapi lama kelamaan aku merasa ada yang aneh dari Venus.
Aku mulai merasa ia sering mencuri pandang ke arahku hingga lama- kelamaan pandanganku dan pandangannya sering bertemu. Kadang ia langsung membuang muka saat ia tertangkap basah melirik aku, tapi sekarang ia mulai berani senyum padaku.
***
Suatu hari aku sedang duduk sendiri di taman di depan kelasku. Saat itu langit sangat cerah. Si jingga tersenyum hangat dari balik awan- awan putih yang bergelantungan bersama langit yang biru. Aku sangat menikmati keindahan itu. Aku memjamkan mataku, menarik nafas dalam- dalam, dan rasanya sangat damai.
“Cantik”.
Aku terkejut mendengar suara itu. Segera kubuka kedua mataku, aku sangat terkejut saat aku melihat Venus sudah duduk di sampingku. Ia memandang dengan pandangan khas yang selalu ia peragakan saat mencuri pandang padaku. Ia tersenyum. Aku baru sadar kalau ia punya lesung pipi. Aku baru sadar ia punya senyum yang manis.
“Cantik ya”, ia memperjelas kalimatnya.
“Iya. Kamu juga suka langit?”, aku bertanya pada Venus.
“Bukan langitnya yang cantik.”
“Jadi?” aku bingung.
“Kamu”.
Ia tersenyum tipis lalu bergegas pergi meninggalkanku sendiri. Dasar laki-laki aneh. Tapi tetap saja pipiku merona mendengar pernyataannya itu. Aku melirik jam tanganku, sudah menunjukkan pukul 07.30. Aku segera masuk ke dalam kelas, pelajaran akan dimulai.
***

            Besok kami akan mengikuti ulangan Fisika. Aku sangat suka pelajaran itu, jadi aku akan berusaha semaksimal mungkin agar aku bisa memperoleh nilai yang bagus dari mata pelajaran tersebut. Seperti saat ini, aku sangat sibuk mengerjakan soal- soal latihan di mejaku. Aku rela tidak pergi ke kantin demi berperang dengan semua rumus- rumus ini.
            “Mentari”, aku menoleh ke arah Venus ang sudah duduk di sampingku.
            “Hai Ven, ada apa?”
            “Kamu serius banget, sih. Lagi belajar buat besok ya?”
            “Iya nih, Ven.”
            “Rajin banget, jadi makin suka sama Mentari”.
            “Jadi apa?” tanyaku kembali.
            “JADI MAKIN SUKA SAMA MENTARI.” Venus tiba- tiba berteriak, hingga banyak teman- temanku menoleh kepada kami. Aku melongo mendengarnya. Ia mengedipkan sebelah matanya, tersenyum, lalu pergi. Aku masih terpaku, pipiku terasa panas dan aku yakin pasti warnanya sudah merona.
            Venus selalu punya cara untuk membuatku senyum- senyum sendiri. Setiap kali melihatnya aku jadi merasa ada getaran yang menjalar ke hatiku, dan getaran  itu akan semakin kencang ketika dia ada dekat denganku. Apa itu yang disebut orang- orang dengan jatuh cinta. Apa aku jatuh cita pada laki-laki aneh tapi manis itu.
***
Tanpa ada angin, tanpa ada hujan,  Venus yang ceria, yang sering menggodaku, yang sering membuat aku bahagia, dan orang yang sudah membuat aku jatuh hati tiba- tiba berubah. Ia berubah menjadi cuek dan dingin. Saat aku berusaha mencari perhatiannya, ia tidak bergeming sama sekali. Ada apa lagi dengan laki- laki aneh ini, pikirku.
Selama ini aku merasa ia suka padaku, tapi ternyata aku yang terlalu baper. Aku merasa seperti diberi harapan palsu. Mulai hari itu kami seolah-olah bermusuhan padahal tidak terjadi apa- apa di antara kami. Mungkin aku selama ini aku hanya seolah-olah tahu semua tentang dia, padahal ternyata kenal pun tidak. Aku merasa aneh dan lucu, tapi memang begitulah adanya. Aku tidak tahu apa-apa tentang dia, selain dia telah membuatku jatuh hati dan tiba- tiba menjauh.
Aku merasa kecewa dan aku ingin membencinya, tapi aku juga penasaran ada apa sebenarnya dengan Ven. Aku tidak melakukan kesalahan apapun, tapi ia seperti ingin menghindar dariku. Aku rasa ia menyembunyikan sesuatu di balik matanya, tapi apakah itu, aku tidak tahu.
***
            Hari ini les sore sangat melelahkan bagiku. Selesai membereskan semua bukuku aku keluar kelas. Aku berjalan pelan, tak sengaja aku melihat Venus duduk di bangku depan kelas, tempat dimana aku sering memandang langit yang biru. Tapi kali ini ia tampak asyik memperhatikan mentari yang akan tenggelam. Aku menghapirinya, ia menoleh sekilas ke arahku lalu kembali memandang ke langit.  Untuk beberapa menit kami saling diam di bawah senja.
            “Kamu suka langit?” itu kalimat pertama yang kudengar setelah lama ia menjauhiku di sekolah.
            “Langit biru tepatnya”, jawabku singkat.
            “ Aku juga. Warna biru dari langit membuat aku merasa nyaman dan tenang. Kamu suka senja?”, tanyanya lagi.
            “Sedikit”.  Sebenarnya aku tidak suka senja. Entah kenapa, tapi aku merasa sepi saat senja.
            “Aku juga tidak suka, tapi aku tidak benci. Kamu kenapa tidak suka senja? Bukankah banyak orang yang memandang senja itu indah?”
            “Memang indah, tapi senja membawa mentari pergi. Sehabis senja pasti hari akan gelap, dan aku merasa sunyi”, jababku pada Venus.
            “Mentari, aku juga merasa seperti itu. Aku melihat seorang gadis dalam senja dan ketika gelap datang ia pun pergi, dan aku merasa gelap dan sunyi”.
Aku tidak mengerti apa yang dimaksud  Venus, tapi yang pasti ia kelihatan sangat sedih. Aku masih diam menunggu ia melanjutkan ceritanya.
“Gadis yang aku lihat bernama Tania. Tania adalah gadis pertama yang aku aku sukai saat aku tahu apa itu jatuh cinta. Aku melihatnya pada matahari yang memancarkan semburat jingga saat akan pergi ke ufuk barat. Namun saat gelap malam menghampiri aku kembali sendiri, aku sadar Tania telah pergi, pergi untuk selamanya”. 
“Jadi Tania itu mantamu?”, aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Iya. Tapi ia sudah pergi. Tania sangat mirip denganmu. Saat melihatmu, aku merasa ia kembali lagi. Karena itu aku selalu berusaha mendekatimu. Lalu aku melihat kamu mulai mendekatiku, dan aku tersadar bahwa kamu Mentari bukan Tania. Aku takut membuatmu kecewa jadi aku menjauhimu, maafkan aku”.
Kini aku tahu mengapa Venus berubah. Aku jadi menyesal sudah beranggapan buruk padanya. Ia pasti sangat sedih.
“Kamu harus move on, Ven”. Aku menggenggam tanyannya, berusaha untuk menguatkannya.
“Sebenarnya aku sudah bisa  merelakan dia pergi. Saat aku menjauhimu, aku merasa rindu, mungkin aku sudah benar- benar suka padamu, tapi aku merasa bersalah pada Tania”.
“Tidak perlu merasa bersalah, ia malah akan sedih jika kamu berlarut dalam sedih, belajarlah untuk membuka hati”, aku tersenyum padanya.
“Tapi aku juga trauma, aku takut kalau kamu juga akan pergi kalau tahu bagaimana aku sebenarnya”.
“Memangnya ada apa denganmu?”
“Sebelum Tania meninggal aku sangat keras kepala. Aku suka sekali membawa motor dengan kecepatan yang tinggi. Aku berusaha menunjukkan kalau aku hebat. Ia selalu menasehatiku, tapi aku terlalu sombong. Hingga pada suatu hari aku membonceng dia dengan kencang dan kami kecelakaan, hingga ia tak tertolong lagi.”
“Ven, tidah ada manusia yang sempurna. Jadi semua berhak mendapat kesempatan kedua, begitupun kamu. Kamu harus memulai lembaran baru”, aku tersenyum padanya.
“Jadi maukah kamu menggantikan Tania?”, tanyanya.
“Aku tidak berhak menggantikan dia. Tapi kalau kamu memang benar- benar suka padaku, sukailah aku karena aku adalah Mentari. Jangan lihat aku sebagai orang lain, walau sekalipun aku mirip dengannnya. Kalau kamu melihat orang lain pada diriku, kamu akan kecewa”.
Ia menatapku lembut dan mengangguk mantap. Aku melihat kesedihan di matanya sudah hilang. Ia menggenggam langanku lebih erat. Untuk pertama kalinya dua orang yang menyukai langit biru tersenyum bahagia di bawah sang senja.